Minggu, 11 Agustus 2013

Boleh kusebut ini pengakuan?


Why did I end up falling for you?

Sesuatu yang tak pernah bisa kuprediksi. Pertama kali melihatmu, biasa saja. Aku melihatmu tertawa. Aku melihatmu bersenda gurau besama teman-temanmu, dan kesimpulan itu mengudara sendiri di kepalaku; Kamu yang (sepertinya) lucu. Kamu yang (sepertinya) menyenangkan. Kamu yang juga (sepertinya) baik. Lalu, selesai. Pertemuan pertama itu tidak menghasilkan apa-apa, ya, karena waktu itu pun aku tak berharap bisa mengenalmu. Biasa saja.

Lalu pada hari berikutnya, suatu hal?kecerobohanku, sebenarnya? berhasil membuatmu berbicara padaku untuk yang pertama kalinya. Kamu menertawakanku saat itu. Awal percakapan yang tidak manis, memang. Tak apa, pikirku. Toh saat itu aku tak menyukaimu. Tapi entah kenapa saat itu aku merasa senang, karena, ya, setidaknya aku sudah berkontribusi memberikan satu tawa di hidupmu.

Hari demi hari berlalu begitu saja. Percakapan via sosial media, tawa hangat yang terurai tiap kali bertemu, satu kenangan manis yang (akan selalu) kuingat dan kusimpan sendiri, membuatku mulai memikirkan kamu. Tidak, aku belum menyukaimu. Aku hanya suka berada di dekatmu. Aku hanya mulai mencari-cari sosokmu di keramaian. Aku hanya suka berbincang denganmu. Itu saja.

Hingga pada suatu hari kabar itu sampai ke telingaku; kamu telah memiliki kekasih. Patah hati? Tidak. Aku sudah bilang, kan, aku tidak menyukaimu? Jadi, ya, aku tidak mungkin patah hati. Aku hanya merasa sedikit sedih, tanpa tahu kenapa. Saat itu, sepertinya ada bagian dari dalam hatiku yang ikut pergi; tiba-tiba kosong, menguap entah kemana. Tapi itu bukan patah hati, sepertinya. Aku meyakinkan diriku sendiri.

Waktu berjalan cepat, maksudku, mungkin saja waktu bisa berlari atau terbang. Dengan satu kedipan mata saja, waktu yang lalu sudah menghilang entah kemana. Aku mendengar kabar kalau kamu telah mengakhiri hubunganmu dengan wanita itu. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menelusup ke celah-celah hatiku. Senang, mungkin. Aneh, ya, padahal (kurasa) aku tidak menyukaimu.

Aku semakin sering berharap kamu ada di antara keramaian. Aku tidak sengaja selalu mengharapkan keberadaanmu di sekitarku. Aku tidak sengaja mencari-cari sosokmu dengan sudut mataku. Aku tidak sengaja kerap menatap sekeliling saat melewati tempat terakhir kita bertemu sebelum dan sebelumnya lagi; sembari berharap kamu akan ada di sana seperti yang sudah-sudah. Aku tidak sengaja kecewa saat tahu ternyata kamu tidak ada di sana. Aku tidak sengaja tersiksa saat tidak menemukanmu di manapun.

Kamu percaya skenario Tuhan lebih indah dari apapun? Aku percaya. Karena, tepat di saat aku tidak mengharapkan apa-apa lagi. Tepat di saat aku mulai belajar untuk hidup tanpa perlu melihat kamu, skenario indah itu mulai berjalan dengan natural. Manis sekali. Aku mulai kembali sering melihatmu. Kita semakin sering saling tertawa dan bersenda gurau. Senin, Kamis, Jumat, Sabtu, adalah hari-hari dimana aku begitu sering bertemu kamu. Takdir amat berbaik hati mengizinkan aku bercakap-cakap denganmu. Hari-hari yang amat istimewa dalam hidupku. Kamu tahu, aku mengingat semuanya dengan sangat baik. Semua kata-katamu, semua cerita-ceritamu, semua candaanmu, semua ekspresi wajahmu. Semuanya. Aku sungguh mengingat semuanya.

Kamu tahu? Setiap kali tidak sengaja memutar semua memori itu di kepalaku, ada rasa hangat yang tiba-tiba menelusup ke seluruh tubuhku. Seolah ada jutaan kupu-kupu yang senang sekali menari di perutku, memberikan getar-getar aneh yang menjalar hingga ke sudut kecil hatiku. Membuatku semakin sering tersenyum dan tertawa sendirian. Ah, beginikah rasanya jatuh cinta lagi, setelah sekian lama kubiarkan hatiku kosong dan dingin. Ternyata ? rasanya menyenangkan.


Tidak. Kamu tak perlu risih. Kamu tak perlu khawatir. Aku tidak akan meminta balasan. Itu permintaan yang berlebihan, bukan? Aku cukup tahu diri. Cuma, yang aku tidak habis pikir, kenapa aku justru jatuh ke padamu. Kenapa (lagi-lagi) aku membiarkan hatiku jatuh tanpa tertangkap. Sejak awal aku mencoba mengingkari hati, tapi sia-sia, kan? Karena, semakin aku mengingkarinya, justru semakin erat rasa itu meremas hatiku. Sakit. Jadi lebih baik aku begini. Mengaku pada dunia, ya, setidaknya mengaku pada diriku sendiri, bahwa aku menyukaimu. Aku memang menyukaimu.

Jangan pernah berubah, kumohon. Jangan pernah menjauh. Tetap seperti itu saja. Biarkan aku mengumpulkan sendiri semua kenangan-kenangan indah bersamamu dalam satu wadah yang kunamai hati. Jangan. Pernah. Berubah. Aku sudah cukup senang kau jadikan teman. Aku sudah cukup bahagia kau anggap adik.

Mencoba mengerti bahwa mungkin beberapa perasaan memang tercipta untuk terpendam dan tersia-siakan. Juga belajar menerima, bahwa nyatanya, kamu memang tak pernah menjadikanku pilihan. Kamu (mungkin) tak pernah menyukaiku seperti aku menyukaimu. Benar, kan? Tak apa. Yang terpenting kamu bahagia. Ah iya, aku teringat sesuatu. Sesuatu yang juga pernah kamu ceritakan. Kamu sedang menyukai orang lain, kan? Perjuangkanlah dia. Perjuangkan kebahagiaanmu. Aku, di sini, akan selalu berdoa yang terbaik untukmu.

Namun nanti, jika pada akhirnya kau merasa lelah, maka pulanglah, akan selalu ada aku yang setia menunggumu tanpa celah.


Aku teringat satu kutipan dari salah satu seniman favoritku; Fiersa Besari: Aku selalu berdoa dua hal 
dalam ibadahku. Satu, agar kau bahagia, dan dua, semoga kau bersamaku. Namun, saat Tuhan hanya mengabulkan yang pertama, tak apa. Tuhan pasti lebih tahu.

Dikutip dari: kawankumagz.com

0 komentar:

Posting Komentar