Minggu, 11 Agustus 2013

Cinta dalam gelap


Aku takut gelap. Ketakutan ini sudah melekat pada diriku sejak aku masih kecil. Semua tahu aku takut gelap, beruntung tak satu pun dari mereka tega mengerjaiku karenanya. Karena aku bisa saja menangis ketika tak satu pun cahaya memasuki kornea mataku.
Aku ... takut gelap.

"Mblo!"
"Apa ..." jawabku datar. Sapaan "Mblo" sudah sangat melekat padaku di lingkungan teman-temanku. Wajar saja, dari pertama kali aku menghirup oksigen di dunia sampai detik ini aku bernafas aku masih belum berkenalan dengan yang namanya cinta (baca : pacaran). "Gue punya temen baru nih. Kami mau ketemuan di taman. Temenin aku ya? Siapa tahu-" Aku menggeleng. Aku sudah tahu maksud Verra dari awal, dia mau mencomblangkan aku dengan lelaki kenalannya itu. "Gue tau siapa yang bakal kenalan, Ver. Gue pergi dulu." Verra memonyongkan bibirnya. "Gue yakin kali ini beda, Sha! Sasha! Tunggu!" Dalam sekejap Verra sudah berjalan di sampingku. "Lo sudah ngomong kayak gitu berkali-kali, Ver." "Gak ada salahnya mencoba kan?" Verra menaruh harapan besar pada kalimatnya barusan. Aku menghentikan langkahku. "This is the last. If I can't fallin in love, please stop do this stupid things. Really, I'm not interest in love. I have to stud-" Verra berlari sambil menoleh ke belakang "Jam 8 di taman! Gue tunggu di timur ya!" "Lho, Kok malam?! Ver! Verra!" Aku geleng-geleng kepala, batang hidung Verra dalam sekejap menghilang di keramaian.

Entah kenapa teman-temanku ingin sekali aku memiliki pacar. Mungkin, status cewek-gak-laku yang melekat padaku merusak imej mereka ketika bersamaku. Well, aku sama sekali tidak merasa malu tapi mereka selalu mempermasalahkan itu, terlebih Verra. Bisa dibilang, Verra itu "ratu"nya pacaran. Sudah berbagai macam cowok pernah hinggap dan terbang di hatinya. Dan satu-satunya orang yang bisa men-stop air matanya ketika kupu-kupu yang hinggap di hatinya terbang, adalah aku.

"Hallo? Ver? Ini udah jam berapa kok belum datang juga?" keluhku. Ini sudah hampir pukul 9. "Maaf maaf, bentar lagi juga datang. Gak sabar ya ketemu sama dia ~" Goda Verra. "Enak aja. Udah ah. Pokoknya kalau jam 9 nggak datang, gue pulang. Malam ini taman sepi, nggak kayak satnite." "Di sana kan nggak gelap, banyak lampu taman, jadi nggak apa-apa kan? Oh iya, dia nanti nganterin kamu pulang. Daaah~ " Verra menutup telepon. "Anak ini ..." gumamku kesal.

"Sasha ... bukan?"
Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku bergidik. "Kamu ..." "Gue Riyu. Temennya Verra." "Ah, gue Sasha. Jadi ... apa kamu bisa memberikan alasan yang bagus supaya harimau yang lelah menunggu ini tidak jadi menerkammu atas keterlambatanmu?" Riyu tertawa. "Kamu terlalu imut untuk disamakan seperti harimau. Oke, sebelumnya aku minta maaf. Motorku tiba-tiba saja mogok dan sekarang sedang beristirahat di perempatan sana." Telunjuknya menunjuk ke barat. Aku berlari ke sini dan kau bisa lihat sendiri, aku berkeringat. Kuharap harimau imut ini tidak menghindariku karenanya." Memang benar Riyu berkeringat. Nafasnya saja tidak teratur, kurasa ia mengatakan yang sebenarnya. "Oke, kamu kumaafkan. Sekarang ... apa?" Kesan pertamaku pada Riyu; biasa-biasa saja. Memang benar, dilihat dari segala arah, wajah Riyu cukup tampan, kecuali melihatnya dari atas dan dari belakang. Badannya tinggi dan berisi, mengenakan kaus berwarna hitam dengan tulisan "Life is Simple" berwarna putih. Dia mengenakan jeans hitam keabu-abuan. Membuat mata setiap gadis yang lewat melintasi kami memandang Riyu penuh harap dan memandangku dengan penuh kekecewaan. Risih.

"Katanya ... kamu takut gelap, ya?"
Oke, menurutku, yang sudah beribu kali mendengar kisah first date-nya Verra dengan beribu mantannya, cukup aneh mendengar pertanyaan macam ini pada kencan pertama. "Maaf?" responku. Mungkin aku salah dengar. "Iya, aku dengar dari Verra, kamu takut gelap. Bisa kamu cerita padaku? Aku tertarik mendengarnya." Oh Tuhan, tidakkah seharusnya Verra mengatakan pada Riyu untuk  tidak membahasnya? "Ah .. itu .. ceritanya panjang." "Tak apa
", jawabnya seketika. "Maaf, aku tidak ingin membicarakannya." Riyu menggaruk kepalanya, "Maaf sudah memaksamu. Sepertinya aku tidak sopan, ya? Maafkan aku. Aku tidak tahu caranya bersikap di kencan pertama. Jujur saja ini pertama kalinya." Pertama ... kalinya? Untuk orang macam Riyu? He must be joking! "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan? Rasanya kaku kalau cuma berdiri di sini." ajak Riyu. Aku mengangguk.

Kami menelusuri jalan yang bersebrangan langsung dengan pantai. Angin berhembus meniup rambutku. "Ah, seharusnya aku mengikat rambutku.", kataku sembari merapikan rambutku. Riyu tersenyum. Dia memegang kepalaku lalu mengacak-acak rambutku. "Riyuuuu!" Riyu berlari. "Kejar aku!" Ia pun tertawa dan aku pun mengejarnya. Langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu tergeletak di pinggir jalan. "Ada apa, Riyu?" kataku sembari memelankan langkahku. Riyu mengambil barang yang ia lihat itu. "Apa itu?" tanyaku. "Tutup matamu!" teriak Riyu namun tak begitu keras. "Tidak akan!" jawabku langsung. Aku tidak akan menutup mataku. Gelap. "Tak apa, tutup saja! Hanya sebentar!" Aku menggeleng. Riyu perlahan mendekatiku. Ia menyembunyikan tangan kanannya dibelakang. "Apa yang kamu sembunyikan?" Tiba-tiba lampu taman mati. Semua menjadi sangat ... gelap.

"Aaaaaaa!" Aku menjerit.

0 komentar:

Posting Komentar